Tarakan biasanya adem-ayem. Pada edisi khusus 17 Agustus 2010, Koran Tempo menulis profil Tarakan sebagai daerah yang maju sejak pemekaran, satu dekade lalu.
Sejarah pulau itu terbentang sejak masa Kerajaan Tidung, yang berlokasi di bagian timur laut Kalimantan. Menurut situs Pemerintah Kota, nama Tarakan berasal dari bahasa Tidung: tarak yang artinya tempat singgah dan ngakan atau makan. Pulau itu dulunya digunakan oleh nelayan untuk tempat istirahat dan barter hasil laut.
Kerajaan Tidung sirna pada masa kolonial Belanda, namun anak keturunannya bertahan dan tersebar. Sebanyak 25 ribu ke Sabah Malaysia dan 48 ribu di Kalimantan Timur. Meski masih memiliki hubungan dan kesamaan rumpun, Tidung tidak dianggap bagian Suku Dayak karena mengembangkan kerajaan sendiri dan beragama Islam.
Sekitar 18 ribu warga Tidung menempati Tarakan, pulau seluas 657 kilometer persegi di laut Sulawesi, sebelah timur Bumi Borneo. Karena letaknya yang strategis sebagai gerbang di utara Kalimantan dan berada di jalur perdagangan dengan Malaysia dan Filipina, nusa ini menarik minat pendatang. Diantaranya suku Bugis dari Sulawesi Selatan.
Berdasar sensus tahun 2000, jumlah suku Bugis di Kalimantan Timur terbanyak kedua, setelah Sulawesi Selatan. Secara keseluruhan, dari 5,1 juta orang Bugis yang ada di Indonesia, lebih dari 520 ribu tinggal di Kaltim. "Mungkin karena tidak jauh dari kampung halaman," ujar Darwin Sanusi, tokoh warga Bugis di Tarakan.
Dia tidak tahu kapan persisnya orang Bugis, suku yang terkenal dengan jiwa perantau dan pelaut tangguh itu, pertama menginjak kaki di Tarakan. "Banyak yang sudah turun temurun di sini," ujarnya.
Kini Bugis, bersama pedatang dari Jawa, mendominasi jumlah penduduk Tarakan. "Warga asli Tidung cuma 10-15 persen," ujar Wali Kota Udin. Selama ini mereka hidup rukun di pulau 'tempat makan' itu. Konflik akhir September ini menjadi lembaran kelam nusa yang kaya gas alam itu. "Kami mohon doa agar bisa segera damai seperti biasa," katanya.
No comments:
Post a Comment